JAKARTA, NAGARA.ID – Dua tokoh politik Indonesia, Syarwan Hamid (77) yang pernah menjadi Menteri Dalam Negeri dan Arbi Sanit (81), pengamat politik dari UI meninggal dunia pada hari yang sama, Kamis (25/3/2021).
Arbi Sanit sempat dibawa ke ICCU RSCM dan dipasang ventilator, namun sehari kemudian dia meninggal dunia.
Arbi Sanit lahir 4 Juni 1939 di Painan, Sumatera Barat. Dia sempat menjadi dosen ilmu politik di Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka. Selain dikenal sebagai pengamat politik yang kerap melontarkan kritikan keras kepada pemerintah, dia juga dikenal lugas dan langsung ke titik persoalan.
Beberapa saran dan pendapat Arbi Sanit yang menjadi perhatian adalah terkait dengan terpilihnya kembali Jokowi pada periode kedua. Dia mengatakan, kalau terlalu banyak kompromistis dalam memilih menteri seperti sekarang yang dilakukan Jokowi, ya dia akan berisiko untuk tak sukses seperti yang diinginkan.
Ilmuwan politik senior itu telah mengobservasi atau mengamati Soeharto selama puluhan tahun kepemimpinannya. Sejak dulu, kata Arbi, kesetiaan dan kemampuan selalu menjadi tolok ukur wajib dimiliki kandidat menteri oleh Pak Harto. Itu yang menurut dia perlu dijalankan Jokowi.
Arbi juga berkomentar terkait kasus penistaan agama oleh Ahok. Dia menduga kasus itu hanya dalih mengalahkan Ahok sebagai calon Gubernur. “Artinya tuduhan penoda agama adalah diduga dalih untuk mengalahkan Ahok sebagai Cagub DKI Jakarta,” kata Arbi, Kamis (20/3/2017).
Menurutnya, kasus itu bisa terjadi pada Ahok, sebab kualitas kepemimpinannya terbukti jauh melebihi pesaingnya.
“Agama diperalat untuk memobilisasi pemilih, dan bahkan digunakan mengintidasi pemilih supaya tidak memilih Ahok,” lanjutnya.
Kritik lain yang dilakukan yakni terkait Pansus Pelindo II. Menurut Arbi pembentukan Pansus Pelindo II di luar tugas DPR. “Ini membuktikan DPR sekarang jauh lebih buruk dari DPR sebelumnya. Anggota DPR sekarang kalibernya telah merosot,” ujar Arbi Sanit, (27/10/2015).
Menurut Arbi Sanit, karena kemampuan praktisi DPR lebih rendah maka untuk kelihatan kerja maka dengan gampang membentuk pansus seperti Pelindo II.
Arbi menyebut Pansus Pelindo II terjadi karena kontroversi saat RJ Lino dikritik oleh Menko Maritim Rizal Ramli. Karena tidak jelas, DPR langsung ambil posisi untuk segera membentuk Pansus.
Syarwan Hamid
Sementara itu Menteri Dalam Negeri di era Presiden BJ Habibie, Syarwan Hamid, juga meninggal dunia Kamis dini hari dalam usia 77 tahun.
Syarwan selama ini dikenal sebagai tokoh militer dan politik di Indonesia. Terakhir ia berpangkat sebagai Letnan Jenderal TNI.

Jejak militernya dimulai saat menempuh pendidikan di Akademik Militer Nasional di Magelang pada 1963-1966. Ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat pada tahun 1980.
Setelah lulus, ia langsung menjadi Komando Batalyon Infanteri Badak Putih, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1980-1983. Syarwan juga pernah menjabat sebagai Assospol Kassospol ABRI pada 1995-1996.
Saat itu ia juga dikirim ke Aceh untuk meredam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk mensukseskan rencana itu ia memilih untuk mendekati pesantren-pesantren di Aceh.
Tidak mengherankan jika strategi itu dipilih. Sebab, Syarwan sendiri saat itu dikenal sebagai TNI yang dekat dengan politisi dan intelektual Islam. Oleh karenanya ia juga dijuluki sebagai ‘TNI Hijau.’
Kariernya di dunia politik dimulai tahun 1997 saat ia terpilih sebagai Wakil Ketua DPR hingga masa kepemimpinan Presiden ke-2 RI Soeharto berakhir pada 1998. Syarwan kemudian diangkat sebagai Mendagri sampai 1999 di era Presiden ke-3 RI BJ Habibie.
Nama Syarwan juga kerap dikaitkan dengan berbagai gejolak politik di Indonesia. Pada 1996, dirinya pernah dituduh terlibat dalam penggulingan Megawati sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia. Ia juga dituduh menjadi aktor di balik penyerbuan kantor PDIP saat itu.