Oleh A Edison Nainggolan
TRAGEDI banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera akhir November 2025 lalu menyisakan duka mendalam dan kerusakan parah. Bencana ini mau tak mau menyeret-nyeret industri sawit, khususnya di sektor hulu. Perkebunan sawit dituding turut berperan besar dalam banjir yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda tersebut, di samping curah hujan yang memang ekstrem tinggi.
Hingga Kamis (5/12/2025), data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan angka korban terus meningkat dan kerugian material yang fantastis di tiga provinsi terdampak parah: Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).
Dampak Banjir Bandang
| Keterangan | Aceh | Sumatera Utara | Sumatera Barat | Total (Estimasi) |
| Korban meninggal | 325 jiwa | 311 jiwa | 200 jiwa | 836 jiwa |
| Korban hilang | 204 jiwa | 165 jiwa | 14 jiwa | 518 jiwa |
| Korban luka | 1.800 jiwa | 112 jiwa | > 2.700 jiwa | |
| Rumah rusak | > 10.500 unit | |||
| Fasilitas umum rusak | 536 unit |
Sumber: Data kompilasi per 4 Desember 2025 dari Posko Utama BNPB di Jakarta dan laporan harian BPBD masing-masing provinsi.
Ada pun daerah terdampak paling parah di Aceh meliputi Kabupaten Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Pidie Jaya, Bireuen, dan Aceh Tenggara. Di Sumatera Utara mencakup Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Kota Sibolga, Tapanuli Utara, dan Deli Serdang. Sedangkan di Sumatera Barat meliputi Kabupaten Agam, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, Kota Padang, dan Padang Panjang.
Akses ke ribuan warga di sejumlah wilayah terdampak baru dapat dijangkau dua hingga lima hari setelah bencana karena jalan tertimbun longsoran dan jembatan putus, yang memperparah kondisi para penyintas yang kini bergantung pada bantuan logistik di tenda-tenda pengungsian.
Kebun Sawit Jadi Tudingan
Sebagian pihak menyebut bahwa bencana kali ini dipicu bukan hanya oleh hujan ekstrem atau cuaca buruk, tapi juga oleh kondisi ekologis yang sudah rapuh: deforestasi, alih fungsi hutan, dan konversi lahan menjadi perkebunan serta area penggunaan lain (APL).
Ketua Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan WALHI Sumbar, Tommy Adam, misalnya, menilai bencana kali ini merupakan akumulasi krisis ekologis selama dua dekade terakhir. Jadi bukan sekadar bencana alam atau dampak ekstremnya curah hujan, tapi bencana ekologis. Ia menyebut cuaca ekstrem hanya pemicu.
Sementara sumber media internasional sudah mulai menyoroti peran deforestasi — termasuk oleh sektor perkebunan, logging, dan pemanfaatan lahan — sebagai faktor yang memperparah dampak banjir dan longsor.
Di tengah hiruk-pikuk analisis mengenai penyebab banjir bandang ini, muncul tudingan semakin menguat di ruang publik terhadap sawit, yang disebut berperan besar dalam bencana ini. Hal ini antara lain tampak jelas dari video viral yang membandingkan kemampuan tanah di perkebunan sawit dan hutan dalam menahan air.
Video tersebut menyebut koefisien limpasan kebun sawit adalah 0,6, yang berarti 60% air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan (run off), sementara koefisien limpasan hutan hanya 0,05 atau hanya 5% air yang mengalir di permukaan. Angka ini secara mencolok mematahkan anggapan “bahwa sawit dan hutan sama saja, sama-sama pohon”.
Para pakar lingkungan menyatakan bahwa sawit, meski berakar dan memiliki tajuk, tidak dapat menggantikan fungsi hidrologis hutan alam yang kompleks dengan keanekaragaman vegetasi, serasah, dan struktur tanah yang mampu menyerap air secara masif. Pembukaan hutan di area hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk perkebunan sawit dinilai mengurangi daya serap tanah, sehingga mempercepat dan memperbesar debit banjir bandang ketika hujan ekstrem terjadi.
Bagi sektor sawit, tudingan ini bisa menurunkan legitimasinya di mata publik dan warga terdampak. Tuduhan bahwa konversi hutan ke sawit memperburuk risiko bencana bisa mendorong tuntutan transparansi dan tanggung-jawab sosial-lingkungan.
Sayangnya tudingan yang bisa mengganggu reputasi industri sawit yang mayoritas dikuasai perusahaan besar ini kurang mendapat respon dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Media Relation GAPKI, Mochamad Husni, yang dua kali dihubungi Nagara News Network untuk dimintai komentarnya, hanya mengatakan, “Pak, mohon tunggu ya,”.
Sementara itu, pakar Kehutanan Sudarsono Soedomo menilai sudut pandang yang menghubungkan bencana sebagai dampak perkebunan kelapa sawit adalah terlalu tergesa-gesa dan sangat sederhana. Menurut dia, gambaran tentang kehutanan Indonesia hari ini jauh lebih kompleks daripada sekadar persoalan ekspansi sawit, terlebih jadi penyebab banjir bandang Sumatera.
Ia menyebut, banyak kawasan hutan telah mengalami degradasi parah jauh sebelum kelapa sawit menjadi komoditas dominan, baik akibat pembalakan liar, tata kelola yang lemah, maupun ketidaktegasan negara dalam menegakkan hak menguasai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Selama bertahun-tahun, kelapa sawit dituduh sebagai penyebab utama hilangnya hutan. Narasi ini terus berulang, padahal faktanya jauh lebih kompleks,” kata Sudarsono, sebagaimana dikutip dari Liputan6.com, edisi 3 Desember 2025.
Mungkin pandangan ini benar. Namun, jika disimak uraian dalam video menyinggung koefisien limpasan permukaan sawit yang jauh lebih besar dari koefisien limpasan permukaan hutan, maka secara logika sederhana kebun sawit tetap dapat dinilai turut berperan penting dalam bencana banjir ini.
Siap Biangnya? Hujan ekstrem, deforestasi, atau keduanya?
Memang, penyebab langsung bencana yang dilaporkan pejabat adalah hujan ekstrem — termasuk curah hujan tinggi, musim hujan, dan siklon tropis yang memperparah kondisi alam.
Namun, peningkatan jumlah korban dan luasnya kerusakan mendorong banyak pihak mempertanyakan apakah faktor struktural — seperti alih fungsi lahan, hilangnya tutupan hutan, tata kelola DAS yang buruk — turut memainkan peran besar. Kombinasi antara iklim ekstrem dan kerentanan ekologis bisa memperparah dampak secara dramatis.
Meski demikian, untuk menyatakan dengan pasti bahwa kebun sawit adalah penyebab utama masih dibutuhkan data ilmiah: studi run-off, peta tutupan lahan sebelum dan sesudah konversi, evaluasi DAS, serta historis curah hujan dan longsor. Tanpa data tersebut, tuduhan tetap menjadi opini — meskipun valid secara empiris dan penting untuk diperiksa lebih lanjut.





