Kehadiran Fiktif Oknum Guru ASN, Praktek Nepotisme di Kabupaten Ogan Ilir

Oleh : Samuel Nainggolan

Temuan  tindakan indisipliner yang dilakukan oleh oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial Ro yang membolos mengajar selama satu tahun namun mendapatkan gaji sertifikasi di Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan mencoreng nama baik pemerintahan Kabupaten Ogan Ilir.

Bagaimana tidak? Berita ini telah beredar luas di kalangan media dan masyarakat setempat, apalagi terungkap pula bahwa tindakan indisipliner dengan tidak hadir mengajar ini dilatarbelakangi kedudukan oknum ASN yang bersuamikan pejabat sebagai Sekfetaris Daerah (Sekda) berinisial MA.  Lalu muncul pula alasan pembenar bahwa yang bersangkutan meninggalkan tugasnya sebagai guru tak dapat lagi dijalankan akibat sibuk dengan peran baru sebagai pengurus di Dharma Wanita Kabupaten Ogan Ilir.

Azas ketidakadilan inilah yang menjadi polemik dikarenakan oknum tersebut masih menerima gaji sertifikasi guru dan tercatat menjadi Guru PNS di salah satu SMP Negeri 1 Indralaya Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumsel.

Berdasarkan UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada Pasal 2 menjadi pegawai ASN memiliki salah satu azas yaitu profesionalitas sehingga  sangat disayangkan apabila memberikan alasan sibuk dalam menjalankan kewajiban (libur mengajar) akan tetapi menerima hak (gaji).

Hal ini menggores azas keadilan seperti kita ketahui bahwa banyak guru guru honorer yang mengajar full time (penuh waktu) akan tetapi digaji rendah. Tindakan oknum guru ini tentunya melanggar kode etik dan kode perilaku  berdasarkan Pasal 5 ayat 2 UU No 5 Tahun 2014.

Merujuk kepada PP No 94 tahun 2021  tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dalam Pasal 4 poin f PNS diwajibkan untuk masuk kerja dan mentaati ketentuan jam kerja.

Dengan Pelanggaran  hukum yang dilakukan maka akan ada akibat hukum berupa sanksi yang ditetapkan kepada oknum tersebut.

Menurut Pasal 11 Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 6 Tahun 2022 hukuman disiplin tingkat berat  dijabarkan salah satunya apabila tidak memenuhi ketentuan masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja.

Sanksi yang pertama adalah, ASN yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 21 (dua puluh satu) sampai dengan 24 (dua puluh empat) hari kerja dalam 1 (satu) tahun berjalan dijatuhi hukuman disiplin berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan.

Selanjutnya ASN yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 25 (dua puluh lima) sampai dengan 27 (dua puluh tujuh) hari kerja dalam 1 (satu) tahun berjalan dijatuhi Hukuman Disiplin berupa pembebasan dari jabatannya menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan.

Lebih daripada itu, ASN yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 28 (dua puluh delapan) hari kerja atau lebih dalam 1 (satu) tahun berjalan dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai ASN.

Pada akhirnya, ASN yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah secara terus menerus selama 10 (sepuluh) hari kerja dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai ASN.

Maka berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum di atas seharusnya ada langkah tegas harus diambil pihak yang berwenang dalam memberikan sanksi pemberhentian kepada oknum ASN  tersebut sebab telah melakukan kerugian terhadap negara.

Yang terjadi selama ini malahan yang bersangkutan malahan dimutasikan ke instansi Sekretariat Daerah yang dimana merupakan ruang lingkup suaminya berdinas.

Oleh karena itu saya teringat pada Teori Power Relation  Michael Faucolt dimana kekuasaan merupakan suatu dimensi dari relasi bisa berakibat pada memburuknya kinerja ASN yang pada akhirnya merugikan negara dan masyarakat serta melanggar sumpah ASN yang pernah diucapkan.

 

*) Samuel Nainggolan, Ketua Cabang GMNI Kabupaten Ogan ilir

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nineteen − seven =