Nestapa Kisah Konsumen Cluster Maxwell MXLA 028 Sumarecon  

Jalan Terjal Mencari Keadilan, Potret Yang Kuat Memakan yang Lemah

Oleh A Edison Nainggolan

Ini adalah kisah yang biasa terjadi, manakala yang kuat dan merasa kuat bisa melakukan apapun manakala kepentingan bisnisnya terganggu.  Bukan Cuma kehormatan, nyawa pun bisa jadi taruhannya.

Kisah ini terjadi antara seorang konsumen, pembeli rumah di kawasan Cluster Maxwell MXLA 028, Gading Serpong milik Sumarecon Group, sebuah pengembang besar di tanah air.

Lawannya adalah konsumennya sendiri, Agus Darma Wijaya (47), yang membeli sebuah rumah elit di kawasan itu dengan harga lumayan mahal. Tentu saja untuk membeli sebuah rumah bernilai miliaran tak mungkin dibeli tunai oleh seorang warga biasa.  Jalannya adalah kredit melalui perbankan atau melalui pengembang itu sendiri.

Alhasil, awal mulanya, proses mencicil berjalan lancar.  Namun siapa nyangka bahwa pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia.  Tak terkecuali Indonesia.  Semua bisnis terdampak, ekonomi merosot termasuk penghasilan ayah dari dua orang anak yang harus tetap bertahan dalam situasi sulit.  Setelah sempat terseok-seok akhirnya Darma menyerah.  Dia beberapa kali meminta keringanan cicilan dari Rp 65 juta sebulan menjadi Rp 25 juta.  Prinsipnya, dia tetap mempunyai itikad baik agar tetap bisa tinggal di rumah tersebut bersama dengan anak dan istrinya.

Namun apa yang bisa dikata, ketika ekonomi makin surut, Agus Darma, kembali meminta keringanan.  Namun hubungan antara konsumen dengan pemilik perumahan mulai tidak setara lagi.  Beberapa kali upaya meminta keringanan dan mencari solusi tidak menemukan titik temu.  Termasuk kalaupun rumah harus dijual kepada pihak lain, sebagai alternatif terakhir, Agus berharap mendapatkan uang agar bisa pindah mencari tempat yang lebih murah.  Agus tentu kecewa, dengan uang yang sudah dia setorkan kurang lebih Rp 602 juta, dia hanya dijanjikan mendapatkan sisanya Rp 102 juta belum dipotong lagi biaya-biaya lain mungkin hanya tersisa 60 jt saja.  Tentu tak cukup untuk pindah ke tempat lain.

Pada akhirnya, Agus Darma sebagai warga negara Indonesia yang paham hukum mencari solusi lain.  Dia lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang, perihal sengketa dan berbeda pendapat soal masalah macetnya angsuran rumah itu.

Agus memahami bahwa pengembang memang pernah menyodorkan perjanjian yang isinya memungkinkan si konsumen untuk “diusir” dari rumah tersebut manakala tidak mampu memenuhi kewajibannya membayar dengan teratur, terlepas dari adanya bencana nasional, kahar atau pun force major.

Melalui pengadilan, Agus berharap perjanjian perdata yang didasari atas itikad baik ini akan berakhir dengan baik dan saling menguntungkan.

Akan tetapi, pada sidang pertama, Senin (18/6/2022) di PN Tangerang pihak Summarecon tidak berkenan hadir di persidangan.  Bahkan ketika sidang belum selesai dilaksanakan tuntas dan belum ada putusan pengadilan, akan tetapi terjadi eksekusi paksa disertai dengan intimidasi dan teror.  Singkat cerita, Agus Darma mengalami luka – akibat diri sendiri – karena mengalami tekanan yang amat hebat dan juga dibekap dijatuhkan ke lantai oleh orang-orang suruhan Summarecon sehingga tulang rusuk retak dan kepala bocor

Agus sang penghuni rumah diteror lebih dari 30 orang Sumarecon, dipaksa meninggalkan rumahnya dan seluruh barang seisi rumah dipindahkan paksa.  Kejadian ini terjadi di depan anak dan istrinya yang tak berdaya, sehingga anaknya Excel (14) mengalami trauma dan phisikisnya terganggu  Bukan hanya itu, dalam keadaan genting ini, tak satupun telpon pihak keamanan, maupun kepolisian yang merespon telponnya.

Agus akhirnya diamankan oleh Tim Sumarecon dengan paksa, setelah sempat melukai diri sendiri.  Dia dibawa ke Polsek Pagedangan Tangerang Selatan.  Dia juga sempat mengalami pingsan karena paru-parunya yang membengkak dan retak tulang rusuk pada rusuk 6,7,8 karena dibanting dilantai, ditindih dan diinjak

Pelapor jadi Terlapor

Perjalanan mencari keadilan bagi Agus belumlah selesai.  Dukungan moril justru datang dari rekan-rekannya yang bekerja di sejumlah media di Tangerang.

Keadilan yang tadi nampak suram perlahan makin terlihat, tujuh orang yang bertindak biadab akhirnya diringkus pihak Polres Metro Tangerang.  Tapi sayangnya, ketujuh pelaku 3 saksi, 3 tersangka dan 1 DPO dilepaskan kembali keesokan harinya tanpa alasan yang jelas. Nampaknya, proses hukum pun belum berpihak pada Agus Darma.

Agus yang semula melaporkan tujuh “preman” itu malahan terancam dan justru menjadi terlapor.  Ini sangat mengherankan mengingat Agus adalah saksi korban yang menderita kerugian materiill dan non materiil.  Kehormatannya dirampas dan kemerdekaannya diambil paksa tanpa prosedur hukum yang berlaku.

Ada proses pengadilan yang dikangkangi, ada proses negosiasi dan musyawah yang diabaikan antara konsumen dan pengembang besar ini.

Proses penyidikan, menurut pengacara Agus Darma terheran-heran atas status kliennya.  Apalagi, selaku terlapor belum pernah dipanggil apalagi di BAP bahkan saksi-saksi terlaporpun tidak ada kok tiba-tiba menjadi terlapor?  Tentu ada yang janggal dan aneh.

Pihaknya tak kehabisan akal untuk mencari keadilan.  Ada kesan main mata dalam penanganan kasus ini. Ada dugaan pihak kepolisian baru mendengarkan dari sebelah pihak aja.

Inilah yang dikhawatirkan manakala peristiwa perdata yang berubah menjadi pidana ini berunsur rekayasa, dipaksakan dan cacat formil.

Agus Darma pun tak pernah surut mencari keadilan dengan meminta bantuan Kompolnas, DPR RI, sampai ke Presiden.  “Mas

alah ini adalah masalah hak asasi manusia dan keadilan yang harus saya perjuangkan,” kata Darma suatu saat.

Apalagi proses penguasaan rumah yang dihuni tidak dieksekusi sesuai prosedur.  Mereka tidak dapat menunjukan dan membuktikan proses penyitaan rumah Agus Darma dengan pendampingan dari  Polri, Kejaksaan, Satpol PP, atau TNI.

Sikap arogansi ditunjukkan dengan cara menang sendiri.  Mereka melakukan dengan menyerang dan memaksa dilengkapi alat-alat seperti linggis, gurinda, mesin diesel, palu dan bor, layaknya sedang melakukan penyerangan terhadap musuh.  Tak mengherankan Agus Darma Wijaya putus asa dan depresi mengambil pisau dapur yang ada di rumahnya dengan mengancam dirinya bukan mengancam preman Summarecon dan untuk mencari keadilan, perlindungan ketika hukum tidak mereka hargai, pihak Summarecon mengabaikan tidak menghormati hukum yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Tangerang.

Menanggapi tindakan Darma Wijaya yang telah melukai dirinya dan memegang pisau, ahli Hukum Pidana Dr.(c) Anggreany Haryani Putri, SH.MH menjelaskan “Noodweer adalah suatu tindakan kriminal yang dilakukan seseorang dalam upayanya untuk melakukan suatu pembelaan diri dari ancaman seseorang yang menyangkut harta, benda maupun kesusilaan diri sendiri maupun orang lain pada waktu yang bersamaan dan dalam keadaan yang sudah sangat terpaksa sehingga sudah tidak ada lagi pilihan selain untuk melakukan tindakan untuk membela diri,” ujarnya.

Pembongkaran paksa pintu belakang

Dikatakannya, sesuai dengan Pasal 49 KUHP tersebut mengatur mengenai perbuatan Pembelaan Darurat atau Pembelaan Terpaksa atau Noodweer untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda.  Dengan demikian seseorang tidak dapat dipidana walaupun telah melakukan kesalahan atau tindakan pidana.

Masalahnya, akankah peristiwa yang sangat dramatis itu membuahkan hasil dan menemukan keadilan yang hakiki di negeri ini.  Nampaknya perjalanan mencari keadilan masih menemukan jalan panjang dan terjal.  Apalagi lawannya adalah sebuah perusahaan besar dan uang yang tak berseri.

Kita berharap peristiwa ini membuka mata semua pihak bahwa pedang keadilan belum ditegakkan di negeri ini.  Keadilan masih menjadi barang mewah yang mungkin mahal harganya.

Mungkinkah keadilan hanya berpihak pada yang punya uang, yang kuat dan berkuasa saja?  Kita tunggu saja.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 − three =