Wakil Bupati OKU Nonaktif, Johan Anuar Dituntut Delapan Tahun Penjara dan Dicabut Hak Politik

PALEMBANG, NAGARA.ID – Wakil Bupati Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) nonaktif Johan Anuar dituntut delapan tahun pidana penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara atas kasus suap lahan kuburan oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jaksa penuntut umum KPK Rikhi Benindo Maghaz menillai, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. “Dari fakta dan analisa secara teori hukum dan pendapat ahli, perbuatan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana melanggar hukum,” ujar Rikhi, di Pengadilan Kelas 1 A Khusus Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (15/4).

Selain itu, Johan juga diharuskan mengganti uang suap Rp 3,2 miliar subsider satu tahun penjara serta pencabutan hak politik untuk dipilih dan memilih.

JPU KPK Rikhi Benindo Maghaz mengatakan terdakwa Johan Anuar melanggar UU Tipikor dalam pengadaan tanah pemakaman umum saat menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD OKU tahun 2013 silam.

Berdasarkan fakta persidangan, Johan Anuar menerima uang sebesar Rp 3,2 miliar yang terungkap melalui penjualan tanah TPU. Dana itu mengalir ke rekening terdakwa usai pengalihan tanah TPU dengan lebih dulu menaikkan harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Wakil bupati OKU dua periode tersebut tidak menunjukkan perbuatan baik selama penyidikan untuk meringankan hukuman. Secara sah dan meyakinkan jaksa menganggap Johan melanggar pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tipikor.

Keputusan menambah tuntutan pencabutan hak politik terhadap Johan Anuar dilakukan karena terdakwa melakukan korupsi saat menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD dan Wakil Bupati OKU yang notabene jabatan politik yang ditunjuk oleh masyarakat.

“Pencabutan hak politik ini dijatuhkan setelah terdakwa menjalani masa pidana, selama lima tahun,” kata dia.

Sementara itu Kuasa Hukum Johan Anuar, Titis Rachmawati mengaku kecewa atas tuntutan jaksa. Dirinya menganggap tuntutan yang diberikan jaksa terlalu dibuat-buat dan memaksakan.

“Kami merasa tuntutan ini tidak fair, maka sudah pasti kami akan mengajukan pledoi. Tuntutan ini menunjukkan bukti KPK mau dikatakan lembaga super power. Seakan-akan selalu benar dalam memberikan hukuman,” ujar Titis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7 + eighteen =