oleh

Pilkada, Pelantikan Kepala Daerah dan Korupsi

Oleh A. Edison Nainggolan

PILKADA serentak tahun 2020 yang diikuti 270 calon kepala daerah belum lama usai.  Proses pelantikanmya baru saja dilaksanakan secara bertahap.  Teranyar, tanggal 26 Februari 2021 sebanyak 170 kepala daerah yang terdiri dari gubernur, bupati dan walikota dilantik di daerah masing-masing.  Ada yang melalui tatap muka dan ada pula yang melalui daring.

Banyak tokoh terkenal yang menjadi kepala daerah, ada Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi  yang menjadi Walikota Solo, ada Bob Nasution mantu Jokowi yang menjadi Walikota Medan, ada Hanindhito Himawan Pramana anak Politisi PDI P Pramono Anung yang menjadi Bupati Kediri, ada Lanosin Hamzah adik Gubernur Sumsel Herman Deru, ada Panca Wijaya Akbar anak Wagub Sumsel Mawardi Yahya, dan sejumlah nama terkenal lainnya.

Di tengah acara pelantikan, masyarakat biasa yang telah menghantarkan mereka menjadi kepala daerah hanya bisa melihat dari kejauhan para pemimpin mereka mengucapkan sumpah setia jabatan yang berbunyi: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah akan memenuhi kewajiban saya sebagai gubernur dan wakil gubernur/bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”

Setelah itu selesai, mereka diberikan wejangan sedikit.  Kalau yang dilantik adalah bupati, maka gubernur memberikan wejangan.  Bila yang dilantik gubernur maka yang memberikan wejangan adalah presiden sesuai dengan hirarki pemerintahan. 

Namun ada yang menarik dari peristiwa pelantikan tahun ini.  Belum lama berselang usai pelantikan 11 bupati di Makasar, Sulawesi Selatan, malam harinya muncul berita yang tak sedap. Sang Gubernur Nurdin Abdullah dijemput oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), turut diamankan bersama dia, empat orang lainnya berikut barang bukti uang satu koper, diperkirakan nilainya Rp 2 miliar.

Sehari kemudian, Nurdin Abdullah yang baru saja melantik para bupati hasil Pilkada ditetapkan sebagai tersangka penerima suap atau gratifikasi dari para pengusaha terkait dengan pembangunan infrastruktur Wisata Bira.  Nilainya diperkirakan mencapai Rp 5,4 miliar yang diberikan  secara bertahap di tempat dan waktu yang berbeda-beda tentu tidak secara secara langsung.

Di Sumatera Selatan, Gubernur Herman Deru juga melantik enam kepala daerah.  Satu dari mereka yang dilantik adalah Wakil Bupati Kabupaten OKU Johan Anuar yang hadir dengan ijin khusus dari KPK karena tengah berstatus sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan tanah pemakaman yang merugikan negara Rp 5,7 miliar saat masih menjabat Ketua DPRD Ogan Komering Ulu pada 2012.

Proses persidangan masih terus berlangsung, sudah beberapa orang dijatuhi hukuman penjara dalam kasus ini.  Johan Anuar, yang pernah menjadi Ketua DPRD OKU dan telah satu periode menjadi Wakil Bupati OKU kini dipercaya kembali oleh masyarakat untuk memimpin Kabupaten OKU.

Ada pula satu kepala daerah yang baru 1,5 bulan dilantik Gubernur Sumsel, yakni Bupati Muaraenim, Juarsyah, juga kini berada ditahanan KPK sebagai tersangka.  Dia menggantikan Bupati Muaraenim sebelumnya, Ahmad Yani yang sudah terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi infrastruktur proyek-proyek di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim tahun 2019.

Pertanyaan kita semua, masihkah tersisa harapan kepada para pemimpin kita yang baru saja dilantik maupun yang telah melantik mereka?  Tentu jawabannya, tetaplah selalu optimis setiap pemimpin yang lahir memiliki karakter yang berbeda-beda.

Yang patut menjadi catatan kita bersama, apakah proses Pilkada telah berjalan dan menghasilkan pemimpin yang baik?  Atau justru sebaliknya proses Pilkada yang menguras banyak biaya karena terjadinya politik uang hanyalah proses logis transaksional.  Saya memberi apa lantas mendapatkan apa? 

Kepala daerah yang mengeluarkan banyak uang, berusaha ingin mengembalikan uangnya karena tidak mau rugi.  Maka cara yang paling mudah adalah korupsi melalui gratifikasi dan suap proyek-proyek strategis.

Oleh karena itu, peranan masyarakat dan media haruslah tetap ada di tengah semakin maraknya keserakahan mengumpulkan uang dengan mengambil uang negara, yang tak lain adalah uang masyarakat untuk mensejaterakan rakyat melalui berbagai permbangunan infrastuktur, pelayanan publik dan menciptakan suasana yang damai dan tenteram sesuai dengan UUD 45 sebagai mana sumpah yang telah diucapkan dan dilihat luas seluruh lapisan masyarakat.  

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *