DI PENGUJUNG tahun 2020, sejumlah keprihatinan tak pelak menyelimuti benak seorang Hamdan Zoelva. Mantan Hakim Konstitusi ini menyimak dan mencermati dengan jelas betapa masih carut-marutnya penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, meningkatnya pemidanaan melalui Undang-Undang ITE terhadap kelompok yang kritis terhadap pemerintah, sungguh telah mencoreng iklim demokrasi. Begitu pula pemidanaan terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan. Sementara pelanggaran serupa oleh pihak-pihak pendukung pemerintah nyaris tak pernah diproses hukum.
“Hukum sejatinya diterapkan secara imparsial, berlaku kepada siapapun dan berkeadilan,” ucap pendiri Zoelva Institute ini dalam refeleksi akhir tahun bertajuk “Catatan Kritis Penegakan Hukum di Indonesia Selama Tahun 2020”. Pada poin itu ia menyebut bahwa penegakan hukum yang adil dan menjunjung tinggi hak asasi manusia masih menjadi tantangan berat selama tahun 2020. Masyarakat masih menyuarakan isu “kesetaraan hukum” dalam penyelesaian sejumlah kasus, misalnya itu tadi, perbedaan perlakuan hukum dalam kasus pelaporan pelanggaran undang-undang ITE dan kasus kerumunan.
Hamdan juga menyesalkan penegakan hukum yang memperlihatkan “wajah keras dan memaksa,” yang berujung jatuhnya enam korban jiwa dalam bentrokan FPI dengan Polri di jalan tol Cikampek KM 50 pada akhir tahun ini, tepatnya pada 7 Desember silam. Ia menegaskan, penegakan hukum yang benar haruslah lebih mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis tanpa mengorbankan ketegasan.
Menyangkut ditangkapnya dua menteri Kabinet Indonesia Maju dan sejumlah kepala daerah dalam kasus korupsi, menurut Hamdan, hal itu menunjukkan rendahnya keteladanan moral para pejabat. Reformasi birokrasi belum menjadi perhatian penting. Integritas moral juga tidak menjadi pertimbangan utama partai politik pada saat pencalonan. Akibatnya yang dilahirkan adalah pejabat yang terlibat dalam perkara korupsi dan harus berurusan dengan hukum.
“Ketika banyak pekerja di PHK, perusahaan bangkrut, tenaga medis berguguran, rumah sakit tidak mampu menampung pasien covid19, sejumlah pejabat tinggi negara tersebut justru tega melakukan korupsi. Begitu tipis akhlak dan tanggung jawab kepada rakyat dan negara,” ucapnya prihatin. Di sisi lain, Hamdan mengapresiasi Langkah-langkah KPK dan berharap KPK tidak ragu untuk melakukan langkah serupa pada tahun 2021.
Pada poin lain, Hamdan menyoroti peradilan kasus Djoko Tjandra yang membuka kebobrokan penegakan hukum di Indonesia, bahwa adanya mafia peradilan yang melibatkan oknum pejabat di Indonesia adalah fakta tak terbantahkan. Putusan hukum diperjualbelikan. “Perlu evaluasi menyeluruh praktik peradilan dan kenegakkan hukum di Indonesia. Salah besar jika fenomena ini hanya diredusir sebatas kasus Djoko Tjandra saja,” ia mengingatkan.
Sementara itu, menyangkut lahirnya undang-undang Omnibus Law, ia melihat di satu sisi mampu menyederhanakan sejumlah perijinan, namun di sisi lain undang-undang ini dibuat secara terburu-buru, kurang membuka dialog dan ruang publik yang luas. Padahal, dalam demokrasi, mendengar suara rakyat adalah proses penting, bukan sema-mata hasil. “Tidak sekadar mendengar tapi mencermati dan mengakomodasi pendapat rakyat. Letakkanlah telinga di detak jantung rakyat,” ujarnya.
Ada pun kemudahan terhadap perusahaan besar perlu diwaspadai karena bisa mengambil jatah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Contohnya kemudahan impor pangan. Ia mengingatkan, penghapusan sanksi bagi pelaku usaha dan atau importir dalam melakukan impor saat pangan domestik terpenuhi sangat merugikan petani dan UMKM holtikultura dalam negeri.***
Komentar