Oleh: A. Edison Nainggolan
PILKADA 2020 yang akan digelar di 270 wilayah di Indonesia hampir pasti dilaksanakan 9 Desember 2020 meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Bagi Sumatera Selatan, Pilkada 2020 dinilai sangat penting karena ada 7 kabupaten yang akan melaksanakannya dari 12 kabupaten yang ada.
Tak salah, kalau Gubernur Sumsel Herman Deru, mengambil beberapa inisiatif yaitu mengadakan deklarasi damai Pilkada dengan para ketua partai dan para stake holder forkopimda.
Gubernur menekankan pentingnya zero conflict dan jangan ada institusi yang berpihak alias harus netral. Terutama penyelenggara Pilkada, KPU, ASN, apalagi TNI dan Polri. Pesan yang sangat bijaksana. Memang Gubernur HD sangat kenyang makan asam garam Pilkada sebelum menjadi Gubernur Sumsel sekarang ini.
Gubernur Sumsel juga menjadi tuan rumah, webinar Pilkada se Sumatera bekerjasama dengan sebuah jaringan media dengan menghadirkan seluruh pemimpin daerah se Sumatera.
Namun tak dipungkiri, Gubernur Sumsel juga adalah kader partai dan orang politik. Dia adalah Ketua Pimpinan Wilayah Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Provinsi Sumsel.
Di saat yang bersamaan, Herman Deru, juga “harus memilih” memberikan rekomendasi kepada sejumlah calon bupati uang akan bertarung termasuk untuk calon Bupati OKU dimana Ketua DPD Nasdem adalah Bupati Kuryana Azis yang saat ini masih menjabat. Kuryana, lima tahun silam adalah “lawan” head to head dengan Hj Percha Leanpuri binti Herman Deru, yang tak lain adalah anak sulungnya.
Herman Deru, melalui Partai Nasdem, sebagian besar mendukung petahana atau incumben sebagai “jagonya” termasuk Kuryana Azis. Itulah dinamika politik, berubah sesuai dengan situasional.
Adalah sangat menarik berbicara mengenai peluang petahana.
Petahana (incumbent) adalah pihak yang berpotensi untuk menang tapi juga mudah melakukan kecurangan.
Oleh karena itu, pengawasan secara ketat terhadap aktivitas politik dari para petahana sangat diperlukan guna menghadirkan demokrasi yang sehat dan berkualitas.
Petahana punya potensi besar memenangkan kompetisi Pilkada 2020. Dengan catatan, jika masyarakat di daerah yang dipimpin mengakui dan menghargai kinerja dan pembangunan yang dilakukan selama periode kepemimpinannya.
Namun sebaliknya, jika petahana tidak memiliki prestasi yang dirasakan langsung masyarakat di daerahnya, maka dia akan cenderung melakukan segala cara untuk memenangkan kontestasi, terutama dengan menggunakan anggaran, dan jajaran birokrasi yang dipimpinnya.
Yang menarik beberapa hari belakangan, petahana melakukan sapu bersih partai pendukung. Tak tanggung-tanggung, pada Pilkada 2020 ini diperkirakan ada 36 calon tunggal, yang menyapu bersih partai pendukung sehingga tidak mempunyai lawan. Lawannya adalah kotak kosong.
Yang lebih menarik lagi adalah, di Sumsel akan ada dua kabupaten yaitu OKU dan OKU Selatan untuk pertama kalinya menampilkan calon tunggal. Di OKU, Eddy Yusuf dan Hilman “gagal” mendapatkan rekomendasi partai. Sementara di OKU Selatan, petahana masih terlalu kuat sehingga tidak muncul kandidat lainnya.
Apakah melawan kotak kosong pasti akan menang? Jawabnya tidak demikian. Calon yang melawan kotak kosong harus memperoleh lebih dari 50% suara. Kalau kurang dari 50%, maka calon dinyatakan tidak didukung oleh masyarakat dan peserta baru bisa ikut pada Pilkada periode berikutnya.
Bagi masyarakat pemilih, hal utama yang menjadi pertimbangan adalah apakah terjadi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat dan daerahnya? Apakah ada pembangunan yang bisa dilihat dan pelayanan yang adil yang bisa dirasakan?
Petahana yang telah bekerja dengan baik selama lima tahun, tidak akan terlalu berat untuk menang. Tapi bagi mereka yang abai dan hanya menikmati jabatan tanpa prestasi mereka akan kehilangan kepercayaan atau kotak kosonglah yang akan jadi pemenang.
Ada satu hal yang menggelitik mengulas Pilkada di masa pandemi Covid-19. Akibat dilakukannya pembatasan, maka Pilkada kali ini akan berbeda dengan Pilkada2 sebelumnya.
Kampanye dan pengumpulan masa dikurangi atau bahkan dihindari. Pertemuan tatap muka dibatasi.
Tak ayal, bila sejumlah elit partai lebih banyak mendukung petahana. Ramai-2 mendukung petahana sehingga muncul calon tunggal seperti di Kabupaten OKU dan lainnya.
Sayangnya, masyarakat tidak bisa memilih karena hanya ada calon tunggal.
Ini tidak terlalu sehat bagi demokrasi kita. Hak rakyat, telah dikebiri melalui kebijakan partai di tingkat pusat. Bisa juga dimaknai bahwa begitu sulitnya mencari pemimpin di masa pandemi ini.
Meminjam istilah Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, calon tunggal dalam Pilkada serentak seperti di Ogan Komering Ulu (OKU) merusak demokrasi. Menurutnya, calon tunggal telah meniadakan kontestasi.
Seharusnya partai politik bertanggung jawab atas hadirnya calon tunggal dalam Pilkada. Sebab, setiap partai seharusnya menyediakan calon karena merupakan saluran utama kaderisasi pemimpin.
Menurutnya, partai-partai yang berani mengusung kandidat yang siap bertarung melawan dominasi calon tunggal sangat dinantikan masyarakat dan bisa dijadikan sebagai laboratorium pilkada 2020.
Pilkada yang diselenggarakan lima tahun sekali, adalah mekanisme demokrasi yang harus dijalankan dengan suasana gembira tanpa perlu tegang.
Sekali lagi, rakyatlah yang akan menentukan siapa pemimpin mereka. Sudah puaskah dengan pemimpin yang ada ketika diberi kesempatan untuk memimpin atau lebih yakin dengan penantangnya?
Dalam Pilkada serentak tahun 2018 yang lalu, banyak petahana yang rontok. Dari 17 gubernur, hanya tiga gubernur yang bertahan selebihnya rontok dikalahkan lawan-lawannya.
Demikian pula dukungan dari partai, tak selamanya pararel dengan dukungan suara masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, dukungan PDI Perjuangan sebagai partai pemenang Pemilu untuk 17 calon gubernur, hanya 6 provinsi yang berhasil dimenangkan dan 11 provinsi lainnya kalah.
Sejatinya, demokrasi adalah suatu mekanisme yang rutin dimana masyarakat berkesempatan menentukan nasib mereka sendiri.
Bukan karena petahana atau non petahana, mau calon tunggal atau kotak kosong, bukan karena dukungan gubernur atau bahkan dukungan presiden.
Rakyat lah yang menjadi penentu nasib bagi kemajuan daerahnya.
Anda puas, berikan amanat kembali kepada petahana. Anda puas, pilihlah calon pemimpin anda dan jangan pilih kotak kosong.
Sebaliknya, bila masyarakat kecewa, saatnya memberikan hukuman dengan tidak memilih pemimpin yang tidak baik. Tak peduli harus memilih sang penantang atau bahkan memilih kotak kosong.
Semua kembali kepada pilihan yang langsung umum bebas dan rahasia di bilik pemilihan 9 Desember mendatang.
Selamat memasuki bulan Pilkada 2020.
Komentar