Oleh A. Edison Nainggolan
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini mengalami pasang surut. KPK dikenal sebagai lembaga anti rasuah di Indonesia yang meniru keberhasilan pemberantasan korupsi oleh Independent Comission Against Corruption (ICAC), di Hong Kong.
Berdirinya KPK juga didasari atas keadaan institusi kejaksaan dan kepolisian yang kotor kala itu, sehingga dinilai tidak mampu menangani kasus korupsi di Indonesia. Karena kedua institusi tersebut sulit untuk dibubarkan, maka dibentuklah KPK.
KPK pertama kali dipimpin oleh Taufiequrachman Ruki. Mantan anggota DPR RI tahun 1992-2001 ini menjabat sebagai ketua KPK dari 29 Desember 2003 hingga 16 Desember 2007.
Lika-liku KPK dalam memberantas korupsi tidak semudah dalam bayangan. Perjalanan panjang sudah ditempuh dengan berbagai cara, berdasarkan aturan yang berlaku.
Kehadiran KPK, selain dipuja oleh sebagian masyarakat Indonesia, juga dibenci dan dicerca oleh sekelompok masyarakat pula, baik oleh masyarakat biasa maupun oleh wakil rakyat (yang duduk di DPR RI). Paling tidak, ketidaksukaan dengan KPK, dengan segala macam alasan, bisa kita saksikan dalam periode 2014-2019, ketika Presiden Jokowi pertama kalinya menjadi Presiden periode pertama.
Puncak kekecewaan masyarakat terjadi ketika Ketua KPK yang baru dijabat oleh seorang jenderal polisi aktif, Komjen Pol Firli Bahuri untuk periode 2019-2023.
Sejak itu, prestasi KPK nyaris tak terdengar lagi. Tak ada lagi Jumat Kramat dimana terjadi penggelaran kasus-kasus baru yang merugikan uang negara miliaran rupiah dan umumnya, juga melibatkan pejabat negara atau kepala daerah atau anggota DPR.
Kini, di tengah pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Artinya, pegawai KPK tak ada bedanya dengan pegawai negeri atau aparatur sipil negara (ASN).
Situasi ini tentu saja menjadi sulit bagi kita mengharapkan sebuah lembaga yang “luar biasa” untuk tetap mempunyai taringnya.
Perubahan status pegawai KPK menjadi ASN menimbulkan keresahan terhadap independensi pegawai dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi.
Aturan yang diteken Jokowi pada 24 Juli 2020 dan berlaku pada saat tanggal diundangkan yakni 27 Juli 2020 ini dianggap sebagai tindakan akhir melemahkan KPK setelah rangkaian-rangkaian pelemahan KPK terjadi melalui serangkaian perubahan UU yaitu lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang resmi berlaku mulai 17 Oktober 2019.
Apa dampak perubahan dengan adanya PP 41 Tahun 2020? Wadah Pegawai KPK sedang mempelajari dan menganalisis dampak tersebut dari berbagai aspek. Terutama dampaknya bagi independensi pegawai KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi.
Pada UU Nomor 19 Tahun 2019, soal pengangkatan para pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara itu tercantum dalam Pasal 1 Nomor 6, Pasal 24 ayat 2, Pasal 69B, dan Pasal 69C. Proses transisi status pegawai lembaga antirasuah dilakukan dalam kurun waktu dua tahun.
Satu hal yang menjadi sorotan wadah pegawai KPK pengubahan status pegawai menjadi ASN ini merupakan satu dari 26 poin bermasalah. Pasalnya, aturan itu bertentangan dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan The Jakarta Principles yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Wakil Ketua KPK kala itu, Laode M. Syarif, mengatakan banyak pegawai yang menangis lantaran harus menjadi abdi negara disusul dengan mundurnya sejumlah pegawai KPK karena sudah tidak melihat lagi “masa depan” KPK.
Sangat jelas bahwa pegawai KPK masuk ke dalam kekuasaan eksekutif. Sebagaimana kita ketahui dalam Trias Politica ada kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Hal itu dipandang sejumlah pihak membuka ruang intervensi kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Pegawai KPK yang nantinya sudah menjadi ASN, berpeluang besar dipindahkan ke kementerian/instansi lain melalui keputusan Presiden Joko Widodo.
Jokowi memiliki kewenangan melakukan promosi, mutasi, atau pemberhentian jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan kementerian/lembaga pemerintah.
Tindakan tersebut dapat diambil Jokowi apabila terdapat pelanggaran prinsip sistem merit yang dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Sistem merit adalah manajemen PNS berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja tanpa membedakan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, dan kondisi kecacatan.
Tak heran bahwa ada pendapat yang mengatakan bahwa saat ini yang terjadi lembaga pemberantas korupsi yang diberantas. KPK yang diberantas, bukan korupsinya.
Lembaga antikorupsi yang independen harus memiliki pegawai yang independen dan mendapat perlindungan negara dalam pelaksanaan tugasnya untuk memberantas korupsi.
Kalau sudah tidak independen, dan sudah menjadi bagian dari pegawai, lalu apa bedanya KPK dengan lembaga penegakan hukum dan aparatur negara lainnya? Apa bedanya dengan pegawai kepolisian dan pegawai kejaksaan?
Komentar