Oleh A. Edison Nainggolan
ADA adagium yang mengatakan bahwa aparat penegak hukum yang melanggar hukum harusnya dihukum lebih berat atau dua kali lebih berat dari masyarakat biasa. Wajar saja hal ini dituntut, karena pada pundak merekalah hukum diharapkan dapat ditegakkan.
Tapi apa yang terjadi belakangan ini? Kasus bebasnya Djoko Tjandra yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) “berkeliaran” selama sebelas tahun adalah cerminan itu. Djoko Tjandara ternyata difasilitasi dan dibantu sejumlah aparatur negara termasuk aparat penegak hukum. Mulai dari pembuatan KTP, pembuatan paspor, penghilangan daftar cekal di Imigrasi, hingga surat keterangan bebas Covid-19, surat jalan bahkan diberi status sebagai konsultan institusi kepolisian.
Belum lagi peranan seorang oknum Kejaksaan yang bolak balik menemui buronan negara itu di Kualalumpur, Malaysia. Semuanya berjalan rapi, semuanya seakan-akan menutup mata dengan status yang disandang Djoko Tjandra sebagai buronan dan DPO.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengatakan cukup banyak orang yang terkait dalam kasus Djoko Tjandra mulai dari tingkat bawah sampai tingkat atas pengambil kebijakan.
Selain sejumlah jenderal polisi, Jaksa Pinangki dan Pengacara Anita Kolopaking, ada orang lain yang menjadi kaki tangan Djoko Tjandra hingga dia santainya bolak balik ke Indonesia.
Yang menjadi aneh bagi masyarakat “biasa” mereka yang terbukti terlibat membantu buronan, hanya menerima sanksi yang beragam pula. Ada yang dicopot dari jabatannya, tetapi tidak dipecat sebagai aparatur sipil negara (ASN) baik yang bekerja di lingkungan pemerintahan seperti di kelurahan, Departemen Imigrasi, hingga yang bekerja di institusi kepolisian dan kejaksaan.
Ada apa dengan Djoko Tjandra sehingga sedemikian kuat dan saktinya buronan negara ini? Semua orang sudah menduga dan hampir pasti, semuanya mau ringan tangan membantu Djoko Tjandara karena daya magis uang. Uanglah yang bisa mengatur yang hitam menjadi putih dan yang putih menjadi hitam, tanpa peduli lagi nurani keadilan di negara yang menjadikan hukum sebagai panglima.
Kasus-kasus yang melibatkan aparat hukum ini, tentu saja hanyalah secuil penyimpangan yang terjadi dan telanjang di depan mata masyarakat. Masih banyak ketidakadilan dan pelanggaran hukum yang dilakukan aparat hukum yang mengatasnamakan hukum yang tidak terlihat dan tidak terungkap luas.
Alih-alih menegakkan hukum, ujung-ujungnya adalah memperdagangkan hukum demi uang agar bisa hidup hedonis. Hedonisme yang melanda masyarakat Indonesia telah menghancurkan rasa keadilan yang hakiki.
Menurut informasi yang layak dipercaya, ada perputaran uang seputar licinnya Djoko Tjandra selama ini. Yang paling mutakhir, seorang oknum jaksa muda yang bersuamikan seorang polisi konon pulang pergi ke luar negeri dengan biaya sendiri sehingga tidak perlu ijin ke atasannya.
Berapa biaya untuk itu? Konon 500 ribu dollar Singapura atau sekitar Rp 5 miliar hanya untuk seorang oknum jaksa. Wajar saja, wanita muda yang hanya digaji kurang dari Rp 10 juta tersebut tergiur. Hartanya pun segera berlipat ganda jauh melebihi dari penghasilannya sebagai seorang ASN.
Tak mengherankan apabila dewasa ini gaya hidup mewah dan hedonis tengah menghantui masyarakat Indonesia, utamanya mereka yang memegang kekuasaan dan punya peranan dalam penegakkan hukum. Mungkinkah rangkaian rusaknya hukum kita akan menemukan titik terang? Rasanya sulit, apabila gaya hidup mewah dan ingin menjadi orang terpandang dari sisi ekonomi telah menjadi tujuan. Pelayanan hukum akan jauh dari panggang dari api bagi pencari keadilan dan kalau ini terus dibiarkan, marwah penegakan hukum di Indonesia akan menemui tubir jurang ketidakadilan.