oleh

Melencengnya Dana Bansos Covid-19

Oleh A. Edison Nainggolan

TAHUN 2020 ini adalah tahun keprihatinan akibat datangnya Pandemi Covid-19.  Hampir semua aspek kehidupan terganggu, utamanya kegiatan ekonomi, sosial, dan keagamaan.  Pertumbuhan ekonomi terganggu dan akibatnya masyarakat banyak yang jatuh miskin.

Pemerintah Indonesia dengan sigap meluncurkan berbagai bantuan sosial dalam beragam bentuk, baik berupa sarana dan prasarana kesehatan, juga bantuan insentif pajak dan keringanan cicilan perbankan, dan juga bantuan sosial langsung.

Jumlahnya ratusan triliun rupiah.  Semula pemerintah menganggarkan Rp 405,1 Triliun kemudian bertambah menjadi Rp 677,2 triliun.

Namun bantuan ini sebagian tidak tepat sasaran karena tidak adanya data kependudukan yang akurat.  Program KTP Nasional, atau KTP elektronik sebagaimana yang kita ketahui, dikorupsi oleh mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.  Maka wajar saja, data kependudukan tidak akurat.

Data warga miskin karut-marut.   Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencium bau tak sedap, bahwa telah terjadi manipulasi bantuan di tingkat paling bawah hingga tingkat atas.

Dana triliunan rupiah itu diduga jatuh ke tangan yang salah akibat jutaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) amburadul hingga perilaku koruptif oknum pejabat di lapangan. Mulai dari proses pengadaan barang bantuan hingga ke tangan masyarakat, KPK dan BPK serta BPKP menelisik dugaan tangan jahil penilep duit rakyat.

Salah seorang warga Desa Wargajaya, Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Bogor berinisial S mengeluh dana bansos tunai yang diterimanya tak utuh. Tatapan matanya kosong, seolah khawatir menatap masa depan. Kehidupannya yang miskin membuat dia khawatir tidak bisa bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Dia mengatakan, dalam pembagian tiga tahap bantuan Covid-19 sebesar Rp. 1.800.000 pihaknya mengalami pemotongan dengan total sebesar Rp 650 ribu oleh staf desa dengan alasan uang tersebut akan diberikan kepada masyarakat yang tidak kebagian bantuan.

Kedengarannya ada benarnya, tindakan aparat desa tersebut, tetapi korupsi tetaplah sebuah kejahatan. Walaupun dilakukan dengan berbagai pembenaran.

Di Provinsi Jawa Barat, penyimpangan itu hampir merata.  Itu hanyalah sebuah contoh saja.  Bukan berarti di provinsi lain tidak ada.  Hampir merata di seluruh Indonesia karena ketidakakuratan data kependudukan di negara yang sudah merdeka 75 tahun ini.  Bentuknya berbeda-beda.  Ada dalam bentuk pembelian beras tak layak, pendirian Posko Covid di berbagai daerah perbatasan kabupaten, komersialisasi surat keterangan bebas Covid-19, hingga pembelian dan penyemprotan disinfektan dalam skala besar yang tidak dapat diukur keefektifannya.  Maklumlah yang diperangi adalah “mahluk” tak terlihat berupa Covid-19.

Ceirta lain juga diutarakan warga Jember.  Dia mengaku menerima dana bantuan bansos berupa Bantuan Sosial Tunai (BST) namun dirinya belum pernah mendaftar sebelumya. Tak hanya itu, dana bantuan yang harusnya diterima untuk tiga bulan disunat menjadi satu bulan saja.

Rentetan cerita masyarakat di atas merupakan contoh dari ribuan suara masyarakat yang mengeluhkan soal aliran dana bansos di Indonesia. Bahkan di Jakarta sendiri, ada ratusan penerima dana Bantuan Sosial Tunai yang kedapatan nilai uang di rekeningnya menguap atau nol. Padahal, mereka termasuk dalam daftar penerima Bantuan Sosial Tunai (BST).

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyetujui bahwa persoalan mendasar soal data kependudukan. Tumpang tindihnya Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sekian tahun tidak diperbaiki membuat kacau pendataan sistem penerima bansos dalam Data Penerima Kesejahteraan Sosial (DTKS).  Tak hanya di saat pandemi, namun di saat normal sebelumnya bansos selalu menghasilkan penyimpangan.

Kita mendengar dan melihat langsung bahwa bantuan sosial yang diberikan pemerintah berlapis-lapis untuk menyisir warga yang terkena dampak ekonomi.  Tapi hasilnya bukanlah menyelesaikan masalah, penyelenggara yang berlapisan-lapis menyalurkan bansos mulai dari dana Presiden, Dana Kemensos, Dana Gubernur, sampai dengan Dana Desa, justru menjadi tempat untuk memberikan “harapan kosong” kepada masyarakat yang harusnya menerima bantuan. 

Ketika ada masyarakat yang berteriak tidak mendapatkan bantuan dari Presiden atau Pemerintah Pusat, mereka disuruh dan diberikan harapan akan mendapatkan bantuan dari sumber lainnya.  Namun apa daya, pada akhirnya sejumlah masyarakat miskin yang sangat membutuhkan justru tidak kunjung mendapatkan bansos.

Lalu siapa yang menerima bansos tersebut?  Tidak sedikit, bansos hanya menyasar mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan dan kenal dengan pejabat pemerintah baik dari tingkat pusat hingga tingkat desa.  Kalau sudah begini, kepada siapa lagi mereka mengadu?

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *